Jumat, 24 Desember 2010

Jumat, 24 Desember 2010

KISAH ORANG SALEH
Diceritakan bahwa suatu ketika Syaiban al-Jamal, sang penggembala
dilemparkan oleh keluarganya di antara binatang buas supaya dimangsa.
Maka binatang buas tadi memandangi Syaiban dan menciuminya. Ada yang
bertanya, “Apa yang kamu ucapkan ketika kamu dilemparkan di hadapan
binatang itu? Syaiban menjawab, “Aku berfikir tentang pendapat para ahli
fiqih tentang sisa-sisa jilatan binatang buas.”
Diceritakanlah bahwasa ketika ia sedang berangkat untuk beribadah haji
bersama Sufyan Tsauri. Tiba-tiba muncullah seekor binatang buas,
terkejutlah Sufyan, akan tetapi segera Syaiban memegang telinga binatang
tadi dan menggosok-gosoknya. Ternyata binatang tadi jinak terhadap
Syaiban serta menggerak-gerakkan ekornya. Syaiban berkata, “Demi Allah
andaikan aku tidak khawatir terkenal, tentu aku akan meletakkan
selendangku di atasnya hingga sampai di kota Makkah.
Ada yang bercerita bahwa ketika Syaiban sedang menggembala, lewatlah
Imam Syafi’i dan muridnya, yakni Imam Ahmad. Imam Ahmad berkata,
“Sungguh aku akan bertanya pada penggembala ini, aku ingin tahu jawaban
yang diberikannya.” “Jangan menantangnya,” kata Imam Syafi’i. “Saya
harus,” jawab Imam Ahmad. Kemudian Imam Ahmad mendekati Syaiban,
lalu bertanya, “Hai Syaiban! Apa pendapatmu tentang orang yang shalat
empat rakaat, lalu ia lupa, ia hanya melakukannya empat sujud (dua rakaat),
apa yang harus dilakukannya?” “Kamu bertanya tentang madzhabmu atau
madzhabku?” Syaiban balik bertanya. “Apakah ada madzhab yang lain?”
Tanya Imam Ahmad. “Ya,” jawab Syaiban. “Kalau begitu menurut
keduanya,” kata Imam Ahmad meminta. Syaiban pun kemudian memberi
penjelasan, “Kalau menurut madzhabmu, ia harus melaksanakan shalat lagi
dua rakaat, kemudian melakukan sujud syahwi. Sedangkan menurut
madzhabku, hati orang itu harus disiksa agar tidak mengulanginya lagi.”
“Lalu apa pendapatmu tentang orang yang memiliki empat puluh ekor
kambing dan sudah ada satu haul (tahun), apa yang harus dilakukan?” tanya
Imam Ahmad lagi. “Kalau menurut madzhabmu, ia wajib mengeluarkan
zakatnya dengan satu ekor kambing. Sedangkan menurut madzhabku,
seseorang itu tidak memiliki apa-apa di hadapan majikannya,” jawab
Syaiban. Mendengar jawaban Syaiban Imam Ahmad pingsan. Ketika telah
sadar, lalu keduanya pergi meninggalkan Syaiban. Syaiban adalah sufi yang
ummi (tidak bisa baca tulis), kalau keadaan orang ummi saja seperti ini, maka
bagaimana keadaan mereka yang ahli ilmu? Imam Syafi’i dan Abu Hanifah
menyatakan, “Jika seorang ulama itu bukan seorang wali (kekasih Allah)
maka Allah tidak memiliki wali. Di antara doa Syaiban adalah:
“Wahai Dzat Yang Maha Penyayang wahai Dzat Yang Maha
Penyayang, yang menguasai ‘arasy yang Agung. Yang Memulai dan Yang
Mengembalikan, sayang Berbuat menurut apa yang Dia kehendaki. Aku
mohon kepada-Mu, demi kemuliaan-Mu yang tak pernah sirna, demi
kerajaan-Mu yang tak pernah hilang, demi kekuasaan-Mu yang dengan itu
Engkau memberi kekuasaan pada ciptaan-Mu, jagalah aku dari keburukan
orang-orang yang zhalim!”
Disebutkan dalam kitab ar-Risalah bahwasannya di dalam rumah
Abdullah al-Qusyairi terdapat sebuah kamar yang diberi nama ‘kamar
binatang buas’ karena pada waktu tertentu binatang buas masuk ke ruang
tersebut. Maka oleh al-Qusyairi binatang itu diberi makan dan minum, lalu
dibiarkan pergi lagi ke hutan. Sahal, salah seorang sufi kenamaan bercerita,
“Dahulu ketika aku memulai terjun ke dunia sufi aku berwudhu pada hari
Jum’at kemudian ke masjid Jami. Ternyata telah penuh dengan orang. Aku
melakukan sesuatu yang tidak terpuji, yakni melangkah di depan jama’ah
terus ke depan sampai barisan pertama, aku pun duduk. Ketika duduk aku
mendapati seorang pemuda tampan yang berbudi, lalu dia bertanya padaku,
“Bagaimana keadaanmu wahai Sahal?” “Aku dalam keadaan baik, semoga
engkau juga demikian,” jawabku. Aku heran dari mana dia tahu namaku.
Tiba-tiba aku merasa ingin buang air, namun aku takut melewati jamaah,
maka aku bingung antara melewati para jama’ah untuk keluar atau bertahan.
Padahal aku sudah tidak bisa menahan. Pemuda itu kemudian menoleh ke
arahku dan bertanya, “Apakah kamu merasa ingin buang air hai Sahal?”,
“Ya!” jawabku. Lalu pemuda itu melepas kainnya dari pinggangnya untuk
menutupiku, lalu berkata, “Berdirilah, tunaikan keinginanmu, lalu segera
menyusul shalat!” Mendengar itu aku pingsan, ketika tersadar ternyata aku
berada di depan pintu yang terbuka dan penjaganya berkata, “Masuklah
Sahal, silakan buang hajat!” Aku pun masuk, dan ternyata tempat itu adalah
rumah yang besar dan ada kebun kurmanya. Di sekitarnya terdapat peralatan
bersuci, siwak, handuk, dan ruang istirahat, Lalu aku pun melepas pakaianku,
buang hajat, berwudlu, dan menggunakan handuk. Tiba-tiba terdengarlah
suara, “Wahai Sahal, apakah kamu sudah selesai melaksanakan hajatmu?”
“Ya,”jawabku. Lalu kain penutup tadi diangkat, ternyata aku masih di
tempatku semula dan tak seorang pun yang tahu. Maka semakin bertambah
bingunglah pikiranku, antara percaya dan tidak. Setelah selesai shalat, aku
mengikuti pemuda tadi, untuk mengetahuinya. Ternyata ia memasuki sebuah
ruangan di mana aku melaksanakan buang air. Ia menoleh ke arahku dan
berkata, “Kamu orang yang jujur, wahai Sahal. “Ya,” jawabku. Lalu aku
menggisik mataku dan membukanya, tetapi aku tidak melihat jejaknya sama
sekali, siapakah dia sebenarnya? Allah Yang Lebih Tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar